asosiasi energi surya indonesia

Jakarta- Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) bekerja sama dengan Real Estate Indonesia (REI) untuk memasang energi surya atap (solar rooftoop) saat membangun rumah.Ketua Umum AESI, Andhika Prastawa mengatakan nantinya anggota REI bisa menjual rumah beserta dengan modul panel surya yang telah terpasang. ASOSIASIENERGI SURYA INDONESIA (AESI) "Bersama Memajukan Energi Surya di Indonesia" GABUNG SEKARANG TENTANG KAMI Berdiri pada tanggal 15 Desember 2016, AESI berperan sebagai forum komunikasi dan kerjasama antar pemegang kepentingan, dalam upaya percepatan pemanfaatan energi surya di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi berkelanjutan. TheAsosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) is an Indonesian non-profit organization founded in 2016 which engaged in the field of solar energy in Indonesia. AESI will work to accelerate the use of solar energy in Indonesia and bring Indonesia to the #GigawattClub solar energy. One of AESI's strategic programs is to strengthen the #PLTSAtap AsosiasiEnergi Surya Indonesia (AESI) menilai pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Indonesia masih sangat minim dari potensi yang ada di Indonesia. "Potensi PLTS atap pada bangunan rumah, belum termasuk gedung, berdasarkan ketersediaannya mencapai 655 gigawatt peak. Jadi potensinya sangat besar. SuryaDarma bersama Airlangga Hartarto. (foto: Kemenperin.go.id) JAKARTA|DutaIndonesia.com- Sebanyak 10 organisasi profesi dan asosiasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang energi mendeklarasi "Gerakan Indonesia Net Zero Emisi Karbon Tahun 2050"pada tanggal 26 November 2021. Acara deklarasi dilakukan bersamaan dengan penutupan Indonesia Site De Rencontre Sans Inscription Belgique. Tahun 2018 sekitar 500 pengguna, sekarang naiknya 486 persen hanya dalam kurung waktu tiga tahun. Itu pertumbuhan yang luar ANTARA - Asosiasi Energi Surya Indonesia AESI menyebutkan angka pertumbuhan sel surya mencapai 486,49 persen dalam tiga tahun terakhir terhitung sejak 2018 hingga Maret 2021. Wakil Ketua Umum AESI Athony Utomo mengatakan pertumbuhan yang hampir lima kali lipat itu mengindikasikan tingginya minat masyarakat terhadap penggunaan energi bersih. "Tahun 2018 sekitar 500 pengguna, sekarang naiknya 486 persen hanya dalam kurung waktu tiga tahun. Itu pertumbuhan yang luar biasa," kata Anthony dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Senin. Baca juga AESI harga rokok lebih mahal ketimbang cicilan panel surya Hingga Maret 2021, total jumlah pelanggan pembangkit listrik tenaga surya PLTS atap tercatat sebanyak rumah tangga dengan total kapasitas daya listrik yang dihasilkan mencapai 26,51 megawatt peak MWp. Jawa Barat menjadi wilayah dengan pemanfaatan PLTS atap terbesar di Indonesia yang bisa menghasilkan listrik 6,17 MWp, lalu disusul Jakarta Raya sebesar 5,87 MWp, kemudian Jawa Tengah dan Yogyakarta sebesar 5,31 MWp. Anthony mengungkapkan bahwa penerbitan Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang penggunaan sistem PLTS atap oleh konsumen PLN menjadi booster yang mendorong peningkatan signifikan penggunaan solar sel Indonesia. Menurutnya, angka pertumbuhan solar sel itu justru lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan gross domestic product GDP atau produk domesik bruto nasional. "Pertumbuhan GDP kita saja 5,0 persen sudah empot-empotan, ini dalam waktu hanya tiga tahun tumbuhnya 485 persen atau hampir lima kali lipat," ujar Anthony. Baca juga Listrik di Papua pakai tenaga surya Dalam pemberitaan sebelumnya, pemerintah menyatakan berkomitmen akan menjadikan listrik tenaga surya sebagai penopang bauran energi baru tebarukan EBT melalui penambahan kapasitas pembangkit sebesar 38 gigawatt GW hingga tahun 2035. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ego Syahrial mengatakan pemerintah memprioritaskan energi surya karena biaya investasi yang semakin rendah dari tahun ke tahun. "Pengembangan pembangkit EBT sampai tahun 2035 diharapkan akan ada tambahan sebesar 38 GW yang akan didominasi oleh pembangkit listrik tenaga surya mengingat harganya semakin kompetitif," kata Ego Sugiharto PurnamaEditor Nusarina Yuliastuti COPYRIGHT © ANTARA 2021 Jalan Mas Mansyur No. 12A Karet Tengsin - Jakarta Pusat 10220 Jakarta ANTARA - Asosiasi Energi Surya Indonesia AESI mendorong penguatan ekosistem pembangkit listrik tenaga surya di dalam negeri agar bisa menumbuhkan industri modul surya hingga menciptakan pasar bagi energi ramah lingkungan. "Kami mendorong penguatan ekosistem PLTS di Indonesia mulai dari industri, pasar, pelaku, dan standarnya," kata Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa di Jakarta, Selasa. Fabby menjelaskan saat ini 80 persen kebutuhan modul surya di dalam negeri berasal dari impor. Permintaan masyarakat yang cenderung kecil membuat industri modul surya lokal belum terbentuk, sehingga kebutuhan modul surya masih harus dipasok dari China. Menurutnya, komitmen negara-negara di seluruh dunia yang terus berupaya menekan emisi gas rumah kaca akan menciptakan ledakan permintaan untuk membangun PLTS yang bisa meningkatkan gairah industri modul surya. Baca juga Pertamina matangkan desain pemanfaatan energi surya untuk Pertashop Berdasarkan laporan Agensi Energi Internasional IEA, pembangunan PLTS yang saat ini rata-rata 160-180 gigawatt per tahun harus naik menjadi 650 gigawatt per tahun bila dunia mau mengarah ke net zero emission. Bahkan China dikabarkan akan membangun 140 gigawatt energi terbarukan dengan komposisi 80 gigawatt terletak pada listrik matahari pada tahun ini. AESI melihat sel surya dan modul surya akan menjadi komoditas dengan nilai tinggi di masa depan, sehingga akan berdampak terhadap persoalan keamanan energi jika Indonesia terus bergantung kepada produk impor. "Kami mendorong agar industri PLTS dalam negeri yang terintegrasi dari hulu ke hilir bisa dibangun di Indonesia untuk mengamankan kebutuhan 10 gigawatt per tahun sampai dengan 2030," kata Fabby. Baca juga Kapasitas terpasang PLTS atap capai 26,51 MWp hingga Maret 2021 Lebih lanjut dia menceritakan bahwa industri-industri PLTS di dalam negeri saat ini hanya sebatas merakit modul surya menjadi panel surya yang menyebabkan harga PLTS cenderung lebih mahal karena mayoritas kebutuhan produknya masih disuplai dari luar negeri. Indonesia dituntut harus bisa membangun industri sel surya agar bisa mengurangi ketergantungan bahan baku modul hingga ke hulu. Tak hanya itu, kaca rendah iron hingga inverter juga bisa dibuat oleh industri lokal karena bahan bakunya tersedia di dalam negeri. "Inverter itu mempengaruhi 30-40 persen harga bagi pelanggan rumah tangga karena kita masih impor inverter dari China, Australia, Korea, India. Industri ini harus dibangun karena punya pasar yang besar," kata Fabby. Dalam lima tahun ke depan, AESI menargetkan dapat membentuk solar prenuer atau pengusaha PLTS agar dapat melayani calon konsumen di seluruh Indonesia terkait penyediaan kebutuhan energi terbarukan nasional. Sejak dibentuk pada 2016 lalu, AESI kini tercatat memiliki 200 anggota yang terdiri dari perusahaan-perusahanan energi, developer, pengusaha, supplier, konsultan hingga masyarakat yang antusias terhadap Sugiharto PurnamaEditor Budi Suyanto COPYRIGHT © ANTARA 2021 JAKARTA, - Asosiasi Energi Surya Indonesia AESI membantah pengembangan PLTS Atap membawa kerugian bagi PT Perusahaan Listrik Negara PLN. Untuk itu, AESI mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM untuk segera melegislasi revisi Peraturan Menteri ESDM No. 49/2018 tentang Penggunaan PLTS Atap oleh Pelanggan PT PLN. Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa mengungkapkan, perubahan ini diharapkan meningkatkan minat masyarakat memasang PLTS Atap yang dapat berdampak pada upaya pencapaian target bauran energi terbarukan, peningkatan investasi energi terbarukan, dan penurunan emisi gas rumah kaca GRK serta komitmen Indonesia untuk mencapai karbon netral sebelum juga Pemerintah Diminta Waspadai Ketahanan APBN Terkait PLTS Atap Dalam RUU EBT Proses legislasi ini masih terkendala proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Fabby menuturkan, pemasangan PLTS Atap pada skala besar merupakan cara yang tercepat dan termurah bagi pemerintah untuk mencapai target RUEN. Dengan potensi teknis pada segmen residensial yang mencapai 655 GWp dan potensi pasar mencapai 9-11 persen dari keseluruhan rumah tangga di Indonesia, ditambah dengan potensi PLTS Atap pada bangunan Commercial & Industry C&I, maka akselerasi PLTS Atap sangat tepat sebagai strategi pemerintah meningkatkan bauran energi terbarukan dan menurunkan emisi GRK dalam jangka pendek. “Untuk itu revisi Permen ESDM No. 49/2018 ini sangat tepat,” kata Fabby dalam keterangan resmi yang diterima Kontan, Kamis 19/8/2021. Fabby mengungkapkan, revisi Permen yang memperluas cakupan kepada seluruh pelanggan di wilayah usaha seluruh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik IUPTL, yaitu PLN dan non-PLN, akan memperluas potensi pasar PLTS Atap, khususnya untuk segmen konsumen C&I. Menurut dia, perubahan nilai ekspor listrik dari 65 persen menjadi 100 persen dengan skema net-metering dapat memperpendek masa pengembalian investasi dari yang saat ini di atas 10 tahun, bisa dipercepat di bawah 8 tahun, dengan tarif listrik saat ini. Perubahan persetujuan permohonan yang awalnya 15 hari kerja menjadi 5 hari kerja, serta kewajiban bagi IUPTL untuk membuat meter exim selalu tersedia dapat meningkatkan appetite konsumen PLTS Atap. PLN pun tidak membayar kepada pelanggan dan surplus transfer listrik akan menjadi milik PLN setelah 6 bulan. Kenaikan minat konsumen PLTS Atap ini pun dinilai seharusnya dilihat sebagai bentuk partisipasi atau gotong royong warga negara Indonesia terhadap upaya pemerintah meningkatkan energi terbarukan dan penurunan emisi CO2 dengan biaya sendiri dan tidak membebani keuangan negara dan BUMN. AESI menilai pandangan beberapa pihak yang menyatakan PLTS Atap akan membawa kerugian bagi PLN tidak tepat dan menyesatkan. Berdasarkan kajian USAID & NREL 20201 jika kapasitas PLTS Atap mencapai 3 GW, dengan tingkat tarif saat ini maka penurunan pendapatan PT PLN sangat kecil, hanya 0,2 persen. Sebagai catatan sampai dengan Januari 2021, jumlah kapasitas PLTS Atap di pelanggan PLN baru sebesar 22,63 MW.“Jelas sekali ada ketakutan berlebihan dan upaya sistematis untuk membesar-besarkan hal yang sebetulnya bukan isu penting dari revisi Permen ini,” kata Fabby. Baca juga Pasang Panel Surya, Berapa Lama Bisa Balik Modal? Bahkan pada sejumlah sistem, misalnya di Jawa-Bali, meningkatnya populasi PLTS Atap yang menghasilkan listrik di siang hari dapat membantu memangkas biaya produksi listrik dari PLTG/PLTGU yang beroperasi di beban menengah load follower. Dengan demikian peningkatan kapasitas PLTS Atap di Sistem Jawa-Bali justru bisa berdampak pada penurunan BPP PLN. Hal yang sama bisa terjadi di daerah-daerah luar Jawa yang didominasi oleh PLTD, dengan rata-rata biaya pembangkitan berkisar pada 1300 – 1900/kWh, PLTS Atap akan menurunkan biaya produksi. Demikian juga dengan klaim bahwa nilai transfer 11 merugikan PLN karena ada losses di jaringan, sebaiknya dikaji secara serius karena adanya PLTS Atap justru bisa saja memperbaiki kualitas tegangan dan menurunkan losses distribusi. Penggunaan PLTS Atap di segemen C&I dinilai punya dampak menurunkan biaya BPP PLN dan subsidi. Dengan penggunaan listrik captive dari PLTS Atap oleh C&I, PLN didorong untuk mengoptimalkan operasi pembangkitnya dan mengefisienkan Specific Fuel Consumption SFC pembangkit-pembangkitnya sehingga berdampak pada penurunan BPP. Penggunaan PLTS Atap juga membawa manfaat ekonomi yang besar dan dapat menjadi mesin pemulihan ekonomi pasca Covid-19. Kajian USAID-NREL 2020 menemukan bahwa PLTS Atap residensial sebanyak 2000 unit dengan kapasitas total 9 MW dapat menyerap 710 tenaga kerja tahunan job-years, dengan GDP sebesar 4,9 juta dollar AS. Kajian IESR 2020 memperkirakan setiap 1 GWp akan menciptakan 22 – 30 ribu tenaga kerja. Pertumbuhan PLTS Atap dapat membuka lapangan kerja tambahan dari hadirnya industri PLTS dan tumbuhnya rantai pasok PLTS. Baca juga PLTS Terapung Terbesar di Asia Tenggara Siap Dibangun di Waduk Cirata Manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dari revisi Permen PLTS Atap jauh lebih besar dibandingkan dampak minimal yang terjadi dari penurunan pendapatan pada PLN. PLTS Atap yang tumbuh hanya akan membawa manfaat yang besar bagi masyarakat. PLN dan perusahaan pemegang IUPTL harus berbenah diri, melakukan transformasi bisnis jika tidak ingin tergilas dengan disrupsi teknologi yang saat ini terjadi, dan mengubah perencanaan dan pola operasi sistem kelistrikan. “Untuk mendukung transisi energi, Kementerian BUMN sebagai pemegang saham perlu memperbaiki KPI PLN dengan memasukkan target pencapaian energi terbarukan. Ini sesuatu yang logis, mengingat kebijakan dan target pemerintah untuk mencapai bauran energi sebesar 23 persen pada 2025 dalam RUEN merupakan acuan bagi RUPTL PT PLN,” sebut Fabby. Filemon Agung Artikel ini telah tayang di dengan judul Pengembangan PLTS Atap rugikan PLN, ini kata AESI Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. JAKARTA - Asosiasi Energi Surya Indonesia AESI memperkirakan sel surya akan menjadi komoditas strategis di masa depan seiring dengan semakin meningkatnya pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya PLTS secara Umum AESI Fabby Tumiwa mengatakan energi surya akan memainkan peran penting dalam agenda transisi energi skenario International Energy Agency IEA, energi surya dan angin diperkirakan akan memasok 70 persen permintaan energi dunia pada 2050. Kapasitas terpasang PLTS pun diproyeksikan meningkat dari 160 gigawatt GW pada saat ini menjadi 650 GW pada 2030."Dengan agenda transisi energi global, seluruh dunia akan bersamaan akses teknologi PLTS. Kita harus antisipasi ke depan bahwa sel surya akan jadi komoditas strategis di masa depan, mungkin ini serupa komunitas minyak bumi di era sekarang," ujar Fabby dalam acara pelantikan pengurus Asosiasi Energi Surya Indonesia AESI periode 2021 - 2024, Jumat 21/5/2021 malam. Guna mengantisipasi hal tersebut, AESI menilai industri sel surya dalam negeri harus mulai didorong. Pengembangan industri sel surya akan menciptakan jaminan keamanan pasokan energi nasional dengan harga terjangkau, sekaligus mengamankan proses transisi energi nasional dari fosil ke energi baru terbarukan EBT. "AESI menilai bahwa kita harus mulai melihat teknologi PLTS tidak saja sebagai urusan TKDN atau SNI. Tapi saya ingin mengajak mulai melihat kita butuh kembangkan industri surya dalam negeri," kata JugaPanel Surya Tahap Dua Chandra Asri Setara PohonCoca Cola Amatil Resmikan Atap Panel SuryaHore! Produk Sel Surya Indonesia Bebas Bea Masuk ke IndiaDengan adanya transisi energi, lapangan kerja di industri ekstraktif diperkirakan akan semakin berkurang. Oleh karena itu, pengembangan industri sel surya juga diharapkan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja baru. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Konten Premium Nikmati Konten Premium Untuk Informasi Yang Lebih Dalam

asosiasi energi surya indonesia